postingan part 1 ada di SINI
Setelah istrahat tercukupi, kita memulai perjalanan
lagi demi mengejar sampai pos III sebelum gelap, kita belum dhuhur-an sama
ashar-an. Dan begitu sampai di pos III dengan ketinggian 2.530 mdpl badan
langsung rebahan di tanah lapang ini, serta dilanjut dengan menjamak dhuhur
sekaligus ashar.
Di pos III ini tanah lapangnya bener-bener lapang,
bahkan sudah ada beberapa tenda yang sudah berdiri dari kelompok pendaki yang
lain. Selama beristirahat di sini, kita bisa menikmati pemandangan yang indah
ke gunung Sumbing, serta puncak bayangan yang membuat kita berpikir “ beneran ini? Jalur yang nanti mau saya
lewati?”
Dari pos III
menuju puncak bayangan satu dan puncak bayangan dua amatlah terjal dan berbatu disertai
dengan kerikil dan debu. Meskipun medan sangat berat, jalur pendakian ini ditumbuhi
oleh pohon lamtoro dan tanaman perdu. Waktu itu jam di tangan kiri saya
menunjuk sekitar jam delapan malam, sejauh mata memandang gelap semua, hanya
hamparan bintang di langit yang menjadi hiburan.
Dan saya tak
membiarkan pikiran kosong, sambil terus meraba dan meraba bebatuan yang ada di
depan saya, saya merasakan ada bebauan yang saya yakin itu bau bunga. Tapi saya
tidak tahu, bebauan itu dari bunga apa. Mencoba menciumi perdu-perdu yang ada
di kanan-kiri saya, tapi perdunya tidak berbau. Mencoba bertanya ke teman di
belakang dan depan saya, mereka tak mencium bau apa-apa. Padahal saya sudah
heboh bilang saya mencium bebauan harum.
Saya sempat
merinding, kenapa kok cuman saya yang mencium bebauan ini. Mana kondisi saya
juga waktu itu dalam kondisi on periode pula. Heuu… sepanjang jalan saya tak henti-hentinya berdoa, serta membaca
semua surat-surat pendek yang saya hafal.
Di bawah puncak
bayangan ini kita beristirahat, waktu itu formasi masih default saya sama fa,
ditemani mbak Nina, Dhanny, mas Nanang sertta mas Jenggot. Dan di sini juga
kita akhirnya memutuskan untuk beristirahat total. Tenaga sudah semacam habis,
dan untuk summit attack-nya
dibicarakan lagi nanti. Mengingat posisi tempat beristirahat kita yang
berbahaya, maka diputuskan naik beberapa meter lagi untuk mencari tanah lapang.
Oh iya, pas
istirahat di bawah puncak bayangan pertama, sempat cerita ke anak-anak, kalau
saya mencium bebauan semacam bunga tapi tidak tahu sumber bebauan itu dari
mana. Anak-anak cuman bilang “berdoa yang
banyak aja mbak!” Dan setelah itu Fa tanya di belakang mas Nanang itu
siapa? Di belakang mas Nanang itu mas Jenggot. Terus Fa bilang “Lah terus yang di belakang mas Nanang,
pakai kerudung warna putih itu siapa?” Kita hanya bisa sama-sama mengangkat
bahu, secara di kelompok kita yang
berkerudung itu cuman saya, sedang saya berada di depan Fa, dan saya
berkerudung warna coklat bukan warna putih.
Naik beberapa
meter ini berasa berkilo-kilo meter, gimana ndak, dengan luasan jalan
sejengkal, gelap-gelapan, kanan-kiri batu, sekali salah injek, bisa
tergelincir, dan jatuhlah kita. Bisa selamat dan bisa ndak. Kok mendadak berasa serem amat yak? Dan
begitu sampai atas, ternyata sudah berdiri beberapa tenda. Namun, karena
sempitnya lokasi, ada beberapa teman yang naik lagi hingga puncak bayangan dua,
yang beberapa ratus meter di bawah Watu Tatah, dan mendirikan tenda di sana.
Malam terasa
berjalan teramat cepat. Berasa belum lama tidur, sekitar jam 3 dini hari di
luar tenda sudah berisik persiapan buat summit
attack. Saya yang waktu itu on
periode hari pertama memilih beristirahat di tenda. Dan berjanji suatu hari
nanti semoga bisa naik ke Sindoro ini lagi buat summit attack. Sambil menahan diri dari keadaan perut yang tidak
bersahabat sama sekali akibat on periode
ini, saya melanjutkan tidur hingga pagi menjelang, dan terbangun sekitar jam
5an.
Bangun pagi
langsung di sambut indahnya pemandangan dari puncak bayangan satu ini. Dari
sini terlihat tiga puncak gunung yang seakan-akan saling bersebelahan. Ada
puncak gunung Sindoro, gunung Merbabu dan gunung Merapi. Subhanallah, ketiga
puncak gunung itu tertutup kabut. Dari posisi ini, kita berada lebih tinggi
dari awan. Awan yang serupa kapas, seakan-akan bisa langsung kita genggam dari
sini. Di tambah matahari yang terbit dengan malu-malu, menambah kelengkapan
keindahan alam ciptaan Tuhan ini.
Dan sebagai kaum
yang tidak lupa untuk mengabadikan semua moment, kita berfoto-foto di sini. Dan
saya masih kagum ketika melihat jauh ke bawah. Eh beneran saya sudah naik
setinggi ini? Dan jalan air yang semalam saya tanyakan bolak-balik ke mas
Nanang, kelihatan jelas dari sini. Jalan air adalah jalan setapak jalur
pendakian, yang karena saking membelok-beloknya, hingga kelihatan seperti arus
air atau daerah aliran air.
Sembari menunggu
turunnya teman-teman yang summit attack, kita di sini masing-masing satu anak
mendapat satu krekses besar guna memunguti sampah sekitaran tenda sampai bersih
kemudian membakarnya. “Mendaki tak hanya untuk menikmati indahnya
ciptaan-Nya, tak hanya untuk mengalahkan semua ego, tapi gimana caranya agar
mendaki itu juga untuk memelihara, merawat dan mencintai bumi.“
Dan ketika
bebersih ini, kita baru sadar kalau kita kehabisan persediaan air. Dan
untunglah teman-teman yang melaksanakan sumiit
attack sudah membawa beberapa botol kosong buat di isi air di atas. Teman-teman
yang melakukan summit attack ada mas Nanang, mas Jenggot, Udakuda serta
teman-teman dari Bandung. Sedang yang lain, cukup hingga puncak bayangan
pertama sama seperti saya.
Jam menunjukkan
sekitar jam delapan pagi. Setelah sarapan mie dan secangkir kopi, kita mulai
bersiap turun, perjalanan turun tidaklah mudah. Mungkin ada yang berpikir,
tinggal turun saja, tidak terlalu butuh tenaga. Akan tetapi di sini, dengan
kondisi badan yang masih capek, apalagi daerah lutut dan pergelangan kaki.
Perjalanan turun merupakan tantangan sendiri. Waktu itu saya sempat mengalami
kram. Dan berhenti beberapa saat sampai kram saya sembuh.
Waktu itu saya
lebih sering glesotan, karena rem kaki saya terutama daerah engsel, sepertinya
remanya sudah aus jadi tidak makan. Dari pada saya harus jatuh bergulingan saya
lebih memilih glesotan di jalan menurun, dan ini terjadi lebih dari tiga kali.
Bahkan ketika sampai pos satu, saya kepikiran buat naik ojek saja. Cumin kok
jadinya antiklimaks ya? Kalau kemudian saya turun dengan naik ojek.
Dengan ditemani mbak
Nina, mas Nafis, Dhanny dan Pephi saya menapaki langkah demi langkah menuju
base camp. Hujan turun dengan derasnya, dan saya menggigil kedinginan menambah
semakin melambatnya langkah saya. Dengan
sabar teman-teman saya ini menemani, bahkan Dhanny sempat menawarkan diri untuk
membawa cariier saya, namun saya tolak, ah saya harus mengalahkan semua ego
saya ini. Saya harus sampai base camp dengan diri saya dan tenaga sendiri.
Untungnya mas
Nafis ngajak saya ngobrol, sehingga perjalanan ini tak begitu terasa lambat dan
lama. Saya sempat bertanya “kenapa
sampean menikmati sekali hujan-hujanan ini? Berlari-lari kecil, loncat-loncatan
dengan riang?”Dan tahu dia bilang apa
“saya hanya menikmati seperti ketika saya masih kecil mbak, main-main
bermandikan hujan. Karena dengan ini saya jadi tak merasa capek dan menikmati”
Ah, saya jadi
malu dibuatnya. Dari tadi saya menganggap hujan yang turun membuat beban di
punggung saya bertambah, membuat langkah saya menjadi tambah lambat, membuat
saya jadi menggigil. Ah, kenapa saat ini juga saya tak mengubah mind set saya
itu? Okee..dengan sisa tenaga yang ada, saya mencoba mengubah pikiran saya itu
menjadi seperti apa yang mas Nafis pikirkan. Dan lumayan, saya menikmati
sesuatu di sana, teringat ketika saya kecil, bermain air sambil hujan-hujanan
di sawah. Dan.. yah! Tentu saja dengan semangat dan tenaga yang masih tersisa.
"sepertinya remanya sudah aus jadi tidak makan..." emang dengkule ndak dikasih makan pow mbak...
ReplyDeleteiyaaa...lali durung tuku kampas anyar.. :p
ReplyDeleteneng mas nafis nyediain rem kapas mbak...;p
ReplyDelete=))
ReplyDelete