Thursday, May 21, 2015

Dieng Culture Festival (2014)

Make a wish dulu mbak, sebelum nerbangin lampion *eh 
Kemaren di path ngelihat postingan temen yang berisi gambar flyer Dieng Culture Festival 2015, dan tetiba baru sadar, ternyata Dieng Culture Festival 2014 sudah setahun yang lalu. 

Setahunan lalu dapat flyer juga dari japrian seorang teman, yang berisi ajakan buat nemani ke sana. Dan semua pritilan dia yang ngurusin, mulai ticketing sampai penginapan. Saya sih iya-iya saja wong tinggal terima beres. Tapi ternyata sama memang bukan tipe orang yang mempercayakan segala sesuatu hal 100 persen kepada orang lain. Akhirnya saya browsinglah sana sini hingga kemudian mengikuti perkembangannya via twitter. Pas saya mastiin lagi, katanya temannya dia yang juga teman saya yang akan ngurusin semua, secara si teman tinggal di Wonosobo. Dan ternyata ber-ending kehabisan tiket. saya sempat bersungut, tahu gitu mending ngurus sendiri. tapi ya sudahlah. (haha)

Dan beberapa waktu setelahnya, ada teman japri nanyain kepastian saya datang ke Dieng Culture. Katanya kalau saya jadi datang, ada teman lain dari Jakarta mau ikutan gabung. Kemudian saya menceritakan semua kronologinya dan ternyata teman saya memiliki ide cemerlang. Tetap aja datang ke Dieng Culture nanti pas di sana beli tiket masuk saja, karena katanya di Dieng Culture tahun sebelumnya bisa begitu. Tetap bisa masuk Dieng walau tanpa punya tiket paketan acara Dieng Culture. Saya bilang aja kalau begitu ayo berangkat saja. Gimana-gimananya lihat nanti saja. Kalau ndak bisa masuk Dieng, ngecamp di Prau ataupun Sikunir tak apa. 

Dan ternyata ketika saya ngasih tahu teman yang ngajak saya ke Dieng Culture pertama kali, dia katanya ndak mood berangkat. Ya sudahlah.. untunge saya bukan tipe orang yang terlalu menggantungkan diri ke orang. Apalagi perkara jalan-jalan. Saya jarang sekali batal berangkat hanya karena teman saya yang ngajak batal berangkat. Kecuali memang pas teman saya batal juga pas lagi ndak mood. (haha)

Dan untunge teman-teman naik gunung saya, pas tahu saya mau ke Dieng Culture langsung semua menyatakan mau gabung. Ada Adi, Rika dan Umam yang bahkan sudah menyiapkan lampion sendiri karena otomatis di Dieng nanti kita ndak dapat lampion. Ya iyalah, bayar tiket sepuluh ribu perorang saja minta fasilitas banyak. Terus ada mbak Dian yang nyusulin dari Jakarta, Ada pasangan Dhanny dan Peppy dari Jogja. Dan saya otomatis default sendirian dari Surabaya. Di Semarang kayak biasanya dipungut mbak Nina. Jadi akhirnya kita bersembilan ke Diengnya. 

Dan perjalanan menuju Dieng pun penuh dengan perjuangan. Perjalanan Semarang-Wonosobo yang biasanya sekitar tiga jam membengkak menjadi enam jam. Belum lagi yang Wonosobo-Dieng biasanya sekitar satu jam membengkak hampir tiga jam. Macetnya ampun-ampunan. Jadi sempanjaang jalan sudah seperti ular besi saja. Mana kondisi jalan yang terjal bikin agak ketar ketir juga. Dan kita baru sampai Dieng menjelang maghrib. Bahkan hari sudah gelap. Dengan orang berjubel memenuhi kawasan Dieng. 

Sesampai di Dieng hari sudah maghrib, dikarenakan belum tahu mau ngecamp di area mana. Akhirnya kita makan-makan dulu di sebuah warung sembari memperhatikan situasi sekitar yang penuh orang berjubel tur gantian sholat Maghrib. 

Ada empat tipe pengunjung Dieng Culture Festival saat itu.
Pertama : Pengunjung yang menggunakan tanda pengenal serta kaos warna hitam bertuliskan Dieng Culture. Ini pengunjung dengan kelas festival
Kedua : Pengunjung yang menggunakan tandak pengenal serta kaos hitam bertuliskan Dieng Culture disertai selendang motif jarik. Ini pengunjung kelas VIP
Ketiga : Pengunjung yang menggunakan tandak pengenal serta kaos hitam bertuliskan Dieng Culture disertai selendang motif jarik plus nenteng-nenteng goodie bag. Ini pengunjung kelas VVIP
Keempat : Pengunjung yang manggul-manggul ransel. Wajah kumus-kumus. Belum mandi seharian. Itu.... itu adalah sayaaaaaa (haha)

Ndak berapa lama kemudian ternyata acara lampion sudah dimulai. Sayang kamera hape ndak bisa ngapture dari jarak jauh, jadi ndak bisa mengabadikan momen lampion yang sudah beterbangan. Gambar di bawah ini adalah sebagian sisa-sisa acara lampion ketika kita menuju lokasi camping area.

Ternyata camping areanya agak jauh di belakang. Dari candi Arjuna masih lumayan berjalan lama. iya lama, soalnya yang namanya manusia waktu itu sudah semacam kayak dawet yang berjubel. eh tapi ternyata begitu sampai di camping area, ndak terlalu rame. sepertinya para pengunjung lebih memilih tinggal di penginapan dibanding camping area. Mungkin karena kondisi kemarau, jadi yang namanya Dieng sudah masuk kondisi yang dinginnya amit-amit. Sore saja waktu dijalanan masih antri kita kalau ngobrol sudah ngeluarin asap kayak ditifi-tifi saking dinginnya.

Candi Arjuna berlatar perpaduan cahaya dari panggung jazz dan lampion
Begitu mendapatkan spot yang enak buat mendirikan tenda, kita segera mendirikan tenda karena saking dinginnya dilanjut acara masak-masak tur dinner. Dan ndak kerasa waktu sudah beranjak tengah malam. Pertanda Jazz di atas awan sudah dimulai. Akhirnya saya, mbak Dian, Umam, Adhi, dan Rika melipir ke lokasi jazz. Sedang yang lain memilih untuk menghangatkan diri di tenda.

Camping Area

Lokasi Jazz sudah penuh orang berjubel sambil nyemil-nyemil menghangatkan diri, karena waktu itu kita ndak bawa cemilan tetiba segerombolan mas-mas nawarin kita cemilan. Sepertinya si mas-mas lokal kalau dari pacaan kostumnya. Lumayan sambil dingin-dingin nikmatin musik sambil nyemil-nyemil. Awalnya masih sungkan-sungkan buat ikutan nyemil tapi lama-lama kok habis banyak. (haha)
Satu setengah jam kemudian saya memutuskan balik ke tenda. Badan dan mata ndak kuat capek. Saya lelaaah... Lelah hati dan perasaan... Laaaah?? (haha)

Jazz di atas awan
Suasana menghangat dengan adanya penerbangan Lampion
Begitu sampai tenda, ternyata teman-teman yang lain belum pada tidur malah masih asik masak-masak. Karena mata beneran ndak kuat saya lebih memilih gelundungan berkemul sleeping bag. Baru tidur bentar saja mendadak sudah pagi. omoo.. begitu keluar tenda buat ke kamar mandi dilanjut fast subuh-an, Embun Upas di mana-mana, putih dimana-mana. Embun Upas adalah embun yang membeku menjadi butiran es. Banyak yang mengabadikan moment ini buat foto-foto biar kerasa kayak luar negeri. Kekekeke. Saya mah hanya moto embunnya, sudah ga keburu buat poto selfiean (haha)

Embun Upas di Rerumputan

Embun Upas di Pohon Cemara
Untuk prosesi ruwat rambut gimbal.... tobe continued (hassle)

Monday, May 11, 2015

rivertubing di sungai magung wonosobo

Rivertubing di sungai Magung Wonosobo ini, adalah rangkaian perjalanan hari keduam setelah hari pertama melipir ke curug Lawe, sama vihara Avalokatisvera. Jika hari pertama masih berada di rangkaian kota Semarang, hari kedua ini kita bergeser ke Wonosobo.

The team. Kika : Rika, MbaNina, Nyanyah, Pasangan KameLia, MbaEndah, Umam, MbaDian dan Adhi (yang jepretin)
Jadi pagi itu, baghda subuh, saya, mbak Nina, mbak Dian, serta pasangan Kamelia meluncur menuju Wonosobo, tak lupa mampir dulu ke sebuah warung makan di alun-alun Temanggung. Warungnya bersih dengan berbagai pilihan menu. dan tak lupa ada tempe kemul yang masih hangat menggoda untuk segera dinikmati. Kita makan tempe kemul sudah semacam rebutan saja, karena selain makan di sini kita juga mbungkus buat dimakan nanti di area rivertubing.

Sungai Magung sendiri adalah sungai kecil yang nantinya bermuara di sungai Serayu. Sungai Magung adalah tipikal sungai arus yang kencang namun ndak terlalu dalam. Mirip dengan Kali Kromong ketika rafting di Obech atau Toss Adventure. Dan rivertubing di sungai Magung ini belum terlalu happening karena masih baru. Dan kebetulan salah satu temen naik gunung jadi ranger di sini. Jadilah kita rame-rame kesini pingin nyobain di rangeri sama dia. Dan itupun juga tahunya tempatnya ini karena ajakan dia juga.

Sungai Magung
Dikarenakan arus yang deras, ini beneran bikin ketar-ketir. Apalagi saya dapatnya ban yang kecil. Bolak balik kepental dan lepas dari ban berkali-kali. Tereak-tereak kayak orang kesetanan karena ketakutan. Sampai Umam sepertinya ikutan desperate ngerenjerin kita. Paling Umam iki mbatin, wes mbak sekali aja tubing bareng mending kita naik gunung bareng aja. Jangan tanya pantat yang sakit karena bolak-balik ketatap batu. Bahu punggung paha yang lebam. Atau tangan dan kaki yang luka akibat kegores batu ataupun ranting pohon. Belum muka yang merah kena matahari terik. (haha)

Tapi serunya memang ndak ketulungan. Kalau arum jerang degdegannya hanya ketika pas jeram dan perahu dibalik. Kalau rivertubing begitu pantat duduk di ban. Yang namanya jantung sudah degdegan ga karuan. Perut mules parah. Dan ini cukup bikin kapok saya untuk rivertubingan lagi. Mungkin kalau arusnya ndak kuat bisa saya pertimbangan. Tapi...tapi.. memang adrinalin rivertubing itukan diarus yang deras. (haha) Gimana caranya tetep bisa meluncur hore nan seimbang serta butuh kepiawaian ngindarin batu besar kalau ndak ingin sakit semua. 

Saya masih bisa senyum bahagia depan kamera, padahal setelah jerit-jerit tanpa ampun (haha)


Tubing berkelompok
Ketika rivertubing dimulai kita bisa memilih untuk meluncur sendiri apa berkelompok. Awalnya saya berkelompok karena merasa kurang seru. eh setelah sepanjang arus saya minta berkelompok lagi. #galauketakutan(haha)

Begitu sampai diujung garis finish saya ditawari lagi untuk mengulang dari awal. dan saya langsung emoh. begitu juga pas diajak turun lagi di rivertubing part dua. saya emoh lagi. Padahal mba Dian bisa nyobain berkali-kali tanpa ketakutan. Sepertinya memang nyali saya yang masih cetek. (haha)

Friday, May 8, 2015

Sumbing; for the second


Gunung Sindoro, View dari Pestan Gunung Sumbing

Sebenarnya gunung Sumbing ini adalah salah satu gunung yang cukup sekali saya nanjaknya. salah duanya adalah gunung Sindoro. Kenapa? Kapok sama tracknya. Tapi ketika suatu hari dapat BBM ajakan dari mbak Dian, saya tetap saja tak kuasa menolak. Iya. Cukup diajak naik gunung saja saya sudah bahagia. Padahal yang ngajak mbak-mbak. Apalagi kalau yang ngajak mas-mas. Sepertinya bakal tujuh hari tujuh malam saya bahagia dan ga berhenti tersenyum. #halah. 

Kaki yang telah berjalan lebih banyak dari biasanya

Jadi setelah selama bulan terjadi penggodokan bongkar pasang personel dan menu makanan selama di gunung. Kemaren tepat tanggal 30 April malam saya meluncur ke Semarang bersama Hasan. Di kondisi Surabaya hujannya tak berhenti dari sore, begitupun perjalanan ke Semarang, hujan tetap setia menemani. Ditambah lagi, pengemudi bus yang sepertinya Paul Walker wannabe alias ngebut medeni bikin ndak bisa tidur sepanjang perjalanan Surabaya-Semarang cukup membuat badan agak sedikit kelelahan. Gimana mau bisa tidur, beberapa kali badan seakan melayang terpental keatas selama di bus. Bahkan penumpang yang di belakang semuanya pada berdiri ikut mengawasi jalannya balapan pak supir ini. Saya sendiripun sempet keder. Sempet mikir salah naik bus Sumber Kencono atau Sumber Slamet, yang mana dua bus ini memang terkenal ugal-ugalan di jalan. Untunglah begitu ngecek karcis ini bukan bus dua itu, paling tidak lumayan bikin hati (sedikit) adem ayem dan tetap ndak menyurutkan semangat buat tetap lanjut naik gunung Sumbing. 

Cumi Bumbu Hitam

Kita baru tiba di terminal Terboyo sekitar jam tujuh pagi. Niatnya mau beristirahat sebentar di masjid terminal. ternyata masjidnya tutup dikarenakan baru saja dipel persiapan buat sholat Jumat. Akhirnya kita hanya menumpang di toilet saja dan setelah itu dilanjutkan dengan langsung mencari bis jurusan Purwokerto guna menuju Wonosobo. Dan tak lupa kita berdua sarapan dulu di warung terminal. omooo... warung menjual lauk cumi bumbu hitam. dan ternyata pas saya nyoba bumbunya cucok banged sama lidah saya. Sedang si Hasan sarapan mie telor. dan anak ini saking capeknya, sampai ndak merasakan kalau mie nya tanpa bumbu karena bu warung kelupaan naruh bumbu di mie. (haha)


Lagi ngelamunin apa mbak?
Sesampai di Wonosobo hari sudah sangat siang. Sambil menunggu Adi dan cak Doni merapat, saya Hasan dan mba Nina glesotan di terminal sembari nyemil-nyemil dan dilanjut menuju masjid guna mandi-mandi dan sholat dhuhur-ashar. Sekitar jam 4 Sore baru personel kita lengkap. Saya dan Hasan dari Surabaya, mbak Dian dan mbak Indri dari Jakarta, mbak Nina dari Semarang, cak Doni dari Bandung serta Umam dan Adhi dari Wonosobo. Selalu dan selalu, entah kutukan apa, tiap saya naik personele selalu dari berbagai kota. 

Untuk mbak Dian, mba Nina, Adhi dan Umam ini sudah entah kali keberapa saya lan jalan tur naik sama mereka. Dan mungkin gegara keseringan saya gaul sama mereka bisa dibilang saya sering maen ke Semarang dan Wonosobo. Bahkan setahun terakhiran bisa dibilang saya sudah ke Semarang-Wonosobo sekitar empat sampai lima kali. Dan ini sukses membuat orang-orang dilingkungan saya curiga. terutama lingkungan kantor. ada apa sik di sana? sering banged kesana? pacarnya orang sana? mertua orang sana? (haha)

Sedang mba Indri ini baru pertama kali ketemu dan jalan bareng, walaupun sebelumnya sering melihat mbaknya beredar di facebook di group-group gunung semacam Indonesian Mountain dan Narkopian. Sedang untuk cak Doni dan Hasan ini kali kedua saya jalan bareng mereka sebelumnya jalan bareng ke Banyuwangi waktu rihlah grup MyQJatim. dan otomatis mereka berdua bawaan saya di pendakian ini. Secara sebelumnya saya sama mbak Dian memang berburu mas-mas, karena personel awal banyakan ceweknya dan kekurangan mas-mas. (haha)

Track dari pos dua Genus hingga Pestan, Kalau ndak tanah basah licin ya bercampur batu tanah ndak kalah licin tur nanjak

Sekitar jam tujuh malam kita memulai pendakian, Perjalanan malam dengan menggunakan jalur lama. Kalau kata Adhi lebih enak jalur lama ketimbang jalur baru. Sedangkan pendakian sebelumnya saya yang juga naiknya sama Adhi, Umam dan mbak Nina menggunakan jalur baru. Saya manut saja, berarti ndak semelelahkan dulu dong ya. tapi ternyata kenyataan berkata lain. Rute boleh lebih pendek, tapi jalur dan track lebih nanjak. dan nanjaknya beneran naudhubillah. Hingga dari buat sampai ke pos satupun it takes 2 hours. omooo. Sebenarnya bisa berhemat waktu dengan naik ojek. tapi ojeknya serem euy. Piye ndak serem, pencahayaan hanya dengan head lamp dan penumpang duduk di depan bukan di belakang.

Pos II Genus KM 4. Kita Sampai sini sekitar jam 12 siang
Selfie terbalik dulu #sayamahorangnyagagitu
Tujuan awal kita langsung menuju Pestan, tapi dikarenakan kabut yang tebal akhirnya kita memutuskan untuk ngecamp di pos satu saja. dan ternyata benaran, belum lama mendirikan tenda, hujan turun membasahi semalaman. dan sepertinya ini salah satu penyebab saya masuk angin hingga muntah pagi itu. Saya yang tak bisa minum sirup akhirnya mencampur sirup antangin dengan setengah gelas air. ndak lucu kalau selama pos 1 hingga pestan saya collaps.

Sunset di Pestan 
Perjalanan dari pos 1 hingga pestan memakan waktu sekitar 5 jaman. dari pos 1 kita naik jam sembilan pagi. Dan sampai Pestan sekitar jam dua siang. Nah di pestan ini kita membangun satu tenda untuk barang dan masak spageti buat yang mau lanjut sumpit. Mbak Dian yang awalnya ndak ngejar summit akhirnya ikut summit sama mbak Indri, Adhi, Umam, cak Doni serta Hasan. Sedang saya sama mba Nina tetap pakai rencana awal, hanya naik hore-hore ndak summit. Jadilan sepanjang waktu menunggu teman-teman summit kita gunakan untuk masak-masak sambil menggalau. dan ternyata angin tur kabut tebal serta sesekali hujan membuat badan saya drop lagi. Masuk angin lagi dan muntah lagi. Makanan di perut seperti Spagethi, Bubur sumsum, Dadar Jagung hingga Pisang Goreng keluar semua. (haha)

Tumis Sayuran Pahit (Lupa nama sayurannya) (haha) 
Bubur Sumsum
Sampai sore menjelang malam saya sama mbak Nina resah gelisah. Mba Dian, Mba Indri, Umam, Adhi, cak Doni dan Hasan ndak muncul-muncul. Yang menjadi tolak ukur adalah pendakian kita sebelumnya. Dulu Summit, Pestan-Puncak-Pestan sekitar 4 jam. Jam satu siang di Pestan, dan sampe Pestan lagi sekitar jam lima sore. Ini sampe jam enam mereka ndak turun-turun. Padahal sudah sekitar enam jaman. Akhirnya karena ndak betah nahan resah gelisah, saya memutuskan untuk nanya para pendaki yang juga habis summit. 

"Mas, Ngelihat rombongan empat cowok dua cewek ndak mas?". 
"Adanya bersembilan mbak, dua cewek" 
"oh, yang berenam ndak ketemu ya mas?" 
"itu anggotanya ada yang gemuk ndak?" 
"oh iya ada" 
"mungkin yang bersembilan itu mba. sapa tahu gabungan sama team lain" 
"oh iya bener juga" 

dan setelah sejam kemudian, ada rombongan datang dari atas. saya tereak. "adhiii??"
mendadak ada yang jawab : "Hasaaan" 
Syukurlah akhirnya mereka turun dengan selamat juga. dan si Hasan langsung masuk tenda tidur gegera drop lagi. 

Dan kita langsung membuat energen tur teh panas buat yang kelelahan habis summit sembari membangun tenda satu lagi. Makan malam terus lanjut merajut mimpi sebelum besok pagi langsung turun. 

(instagram.com/potrehkoneg)

Sebelum berpisah menuju kota domisili masing-masing

di Pos 1 ada warungnya!!1

 

Me n My Ego Template by Ipietoon Cute Blog Design