Monday, November 28, 2011

ASEAN Environment Sustainable City

Reog Ponorogo menyambut kedatangan Bu Risma yang membawa piala

Bu Risma sembari mengangkat piala penghargaan

Selamat buat kota Surabaya yang mendapatkan penghargaan ASEAN Environment Sustainable City. Surabaya kini sejajar dengan kota-kota seperti National Housing Scheme Rimba (Brunei Darussalam), Phnom Penh (Kamboja), Xamneau (Laos), Perbadanan Putrajaya (Malaysia), Pyin Oo Lwin (Myanmar), Puerto Princesa (Philipina), South West CDC (Singapura), Phuket (Thailand), dan Danang (Vietnam).
Surabaya dinyatakan sebagai kota dengan penataan lingkungan berkelanjutan terbaik di banding kota-kota besar lain di kawasan ASEAN.

*tapi walau begitu, Surabaya tetep panas dan bikin eksotis =))

Wednesday, November 16, 2011

Hore-Hore Trip : Telaga Sarangan, Magetan

Saya menyukai spontanitas, dan kalau jalan-jalan sama orang kantor selalu saja menemui sebuah spontanitas. Dulu tanpa dinyana dan direncanakan, sepulang dari nikahan mbak Nia di Jombang, kita malah bablas ke Batu Night Spektakuler di Malang. Dan pada tanggal 29 Oktober 2011 kemaren, setelah menghadiri nikahan mbak Tika di Madiun, serta setelah berkunjung ke rumah mas Agung, kita juga bablas ke Telaga Sarangan di Magetan. 

Kenapa saya selalu menyebut jalan-jalan spontanitas dengan orang kantor itu dengan Hore-Hore Trip, karena tidak ada istilah backpacker-an di sini, tak ada tenda, tak ada capek jalan kaki jauh, yang ada tinggal duduk manis di mobil, tinggal di penginapan, makan-tidur, pokoknya Hore lah!! 

Jadi kemaren itu, saya dan teman-teman kantor berkumpul di meeting point yang selalu tempatnya adalah 'sebuah tempat bernama kantor'. Sesuai perjanjian ngumpul di meeting point ini jam 9, akan tetapi alangkah tololnya jam segitu saya baru mulai mandi, dan telpon saya bolak-balik bunyi panggilan dari mas Didik, mas Haris serta mas Agung, hihihi...maap ya mas-mas, adekmu selalu telat :D. Sampe meeting point kena omel pak Boss : "koen iku...perawan-perawan, tapi kelakuan bangsawan.. jam piro iki? kok tas tangi? wes ndhang budhal nduk..selak kawanen!" Kena omel saya cuman cengar-cengir..hehe..

Setelah saya merapat, langsung meluncurlah kita ke arah Jombang, loh? kok Jombang? iyaa..ternyata ada spontanitas baru, kita menuju rumah mbak Nia guna menjenguk dia yang sudah seminggu ndak masuk, sakit. Dan sampai sana, malah ngabisin semua hidangan yang disajikan ke kita. "Maap ya mbak, tamunya ini kerjanya makan mulu ndak berkesudahan". Gimana ndak kalap waktu dijamu di rumah mbak Nia? la wong tekan Surabaya ndak ada yang sarapan. Dan setelah kelar makan-makan, kelar sholat duhur perjalanan dilanjutkan ke Madiun dengan tujuan rumah mas Agung sebagai tempat persinggahan sekaligus peristirahatan sementara sebelum malamnya ke nikahan mbak Tika.


Sampai rumah mas Agung di sambut dengan hujan deras, sambil menikmati sate Ponorogo dan pecel Madiun kita menghabiskan waktu dengan nikmatnya di sini. Suasana rumah mas Agung yang pedesaan serta keluarga yang humble membuat saya jadi kangen rumah..eaaa.. Maghrib datang menjelang yang tandanya kita harus segera siap-siap ke nikahan mbak Tika sekaligus pamitan sama keluarga mas Agung. -cerita nikahannya di skip aja, di mana-mana kondangan ya kayak gitu, datang, makan, saliman terus pulang, tapi kalau ulpers yang datang, ceritanya lain. Pasti ada sesi rusuh-rusuh di setiap sesi fotonya, hihi-

Melanjutkan perjalanan di malam hari menuju telagan Sarangan, AC bus yang kenceng, membuat saya kerjanya tiduran selonjoran di bis. Jalan yang meliuk-liuk, suasana di luar gelap gerimis. Begitu bis berhenti, ternyata kita sudah sampai di kompleks telaga Sarangan, menuju penginapan, ganti kostum kondangan dengan kostum jalan, terus keluar menikmati telaga Sarangan di malam hari. Hawanya yang sejuk, jalanan yang sudah tak seberapa ramai..aaah..saya jadi kangen gunung! Padahal baru sebulan lalu saya habis dari Krakatau. Iya, saya kangen suasana sejuk gunung di malam hari :( 

Menikmati telaga sarangan di malam hari, menikmati jagung bakar, menikmati sate kelinci pas di pinggir telaga, bercengkrama dengan teman, iiih..sesuatu banged! :D secara setiap harinya cuman bercengkrama di kantor, di sela kerjaan yang terkadang seakan mencekik urat saraf, di sini kita lebih refresh. Tak terasa waktu berjalan cepat, malam sudah semakin larut, saatnya kembali ke penginapan dan tidur cantik.

Setelah fajar datang menjemput, saatnya menikmati segarnya telaga pagi ini. Suasana ketika saya menuju ke telaga, sudah ramai sekali. Ada bapak-bapak menawarkan jasa naik kuda ke air terjun sarangan yang ternyata jaraknya ke sana sekitar 4km. Niat saya pagi ini adalah jalan kaki, jadi saya tolak tawaran bapak ini dengan halus. Di sepanjang jalan banyak motor track berseliweran, motor track yang diangkut pakai mobil, yang ternyata di sekitaran situ lagi ada race. Dan yang membuat saya kagum, ada anak kecil yang kira-kira umurnya sekitar 8tahunan sudah mengendarai motor track! hoho..sepertinya dia pangeran jalanan pagi ini. Aaah..kalau berurusan dengan jalan, saya angkat tangan padamu dek!



Telaga Sarangan pagi itu masih berkabut, kabutnya masih setinggi pandangan mata saya. Kemudian saya memutuskan naik boat guna berkeliling telaga ini. aah..seru sekali, tapi masih kalah seru kalau di banding dengan naik perahu nelayan. Dredegnya lebih kerasa! Kelar naik boat, saya muter-muter di pasar yang ada di sepanjang jalanan tepi telaga, ada batik, kaos dan lain-lain. Di sini saya mendapat sehelai kain, setelah gagal mendapat sebuah dress batik dengan harga yang kurang worthed dibanding batiknya.:(

Kelar muter-muter ternyata waktu sudah menunjukkan jam 10 dan waktunya kembali ke penginapan. Di sini saya tiduran menikmati -masih- sejuknya telaga Sarangan dengan leyeh-leyeh ngopi-ngopi sambil nonton eftivi dan kemudian ketiduran. Beneran Hore kan? Kesini cuman pindah makan tidur aja. Sebenarnya saya pingin jalan kaki ke air terjun, tapi karena ndak ada temannya..ya sudahlah :|. 


 Siang datang menjelang..mari kita kembali ke kota pahlawan kita, Surabaya.




Monday, November 7, 2011

Catper Pendakian Sindoro 8 S/D 11 April 2011 (part 2)



postingan part 1 ada di SINI 

Setelah istrahat tercukupi, kita memulai perjalanan lagi demi mengejar sampai pos III sebelum gelap, kita belum dhuhur-an sama ashar-an. Dan begitu sampai di pos III dengan ketinggian 2.530 mdpl badan langsung rebahan di tanah lapang ini, serta dilanjut dengan menjamak dhuhur sekaligus ashar.

Di pos III ini tanah lapangnya bener-bener lapang, bahkan sudah ada beberapa tenda yang sudah berdiri dari kelompok pendaki yang lain. Selama beristirahat di sini, kita bisa menikmati pemandangan yang indah ke gunung Sumbing, serta puncak bayangan yang membuat kita berpikir “ beneran ini? Jalur yang nanti mau saya lewati?”

Dari pos III menuju puncak bayangan satu dan puncak bayangan dua amatlah terjal dan berbatu disertai dengan kerikil dan debu. Meskipun medan sangat berat, jalur pendakian ini ditumbuhi oleh pohon lamtoro dan tanaman perdu. Waktu itu jam di tangan kiri saya menunjuk sekitar jam delapan malam, sejauh mata memandang gelap semua, hanya hamparan bintang di langit yang menjadi hiburan.

Dan saya tak membiarkan pikiran kosong, sambil terus meraba dan meraba bebatuan yang ada di depan saya, saya merasakan ada bebauan yang saya yakin itu bau bunga. Tapi saya tidak tahu, bebauan itu dari bunga apa. Mencoba menciumi perdu-perdu yang ada di kanan-kiri saya, tapi perdunya tidak berbau. Mencoba bertanya ke teman di belakang dan depan saya, mereka tak mencium bau apa-apa. Padahal saya sudah heboh bilang saya mencium bebauan harum.

Saya sempat merinding, kenapa kok cuman saya yang mencium bebauan ini. Mana kondisi saya juga waktu itu dalam kondisi  on periode pula. Heuu… sepanjang jalan saya tak henti-hentinya berdoa, serta membaca semua surat-surat pendek yang saya hafal.

Di bawah puncak bayangan ini kita beristirahat, waktu itu formasi masih default saya sama fa, ditemani mbak Nina, Dhanny, mas Nanang sertta mas Jenggot. Dan di sini juga kita akhirnya memutuskan untuk beristirahat total. Tenaga sudah semacam habis, dan untuk summit attack-nya dibicarakan lagi nanti. Mengingat posisi tempat beristirahat kita yang berbahaya, maka diputuskan naik beberapa meter lagi untuk mencari tanah lapang.

Oh iya, pas istirahat di bawah puncak bayangan pertama, sempat cerita ke anak-anak, kalau saya mencium bebauan semacam bunga tapi tidak tahu sumber bebauan itu dari mana. Anak-anak cuman bilang “berdoa yang banyak aja mbak!” Dan setelah itu Fa tanya di belakang mas Nanang itu siapa? Di belakang mas Nanang itu mas Jenggot. Terus Fa bilang “Lah terus yang di belakang mas Nanang, pakai kerudung warna putih itu siapa?” Kita hanya bisa sama-sama mengangkat bahu, secara di kelompok kita yang berkerudung itu cuman saya, sedang saya berada di depan Fa, dan saya berkerudung warna coklat bukan warna putih.

Naik beberapa meter ini berasa berkilo-kilo meter, gimana ndak, dengan luasan jalan sejengkal, gelap-gelapan, kanan-kiri batu, sekali salah injek, bisa tergelincir, dan jatuhlah kita. Bisa selamat dan bisa ndak. Kok mendadak berasa serem amat yak? Dan begitu sampai atas, ternyata sudah berdiri beberapa tenda. Namun, karena sempitnya lokasi, ada beberapa teman yang naik lagi hingga puncak bayangan dua, yang beberapa ratus meter di bawah Watu Tatah, dan mendirikan tenda di sana.

Malam terasa berjalan teramat cepat. Berasa belum lama tidur, sekitar jam 3 dini hari di luar tenda sudah berisik persiapan buat summit attack. Saya yang waktu itu on periode hari pertama memilih beristirahat di tenda. Dan berjanji suatu hari nanti semoga bisa naik ke Sindoro ini lagi buat summit attack. Sambil menahan diri dari keadaan perut yang tidak bersahabat sama sekali akibat on periode ini, saya melanjutkan tidur hingga pagi menjelang, dan terbangun sekitar jam 5an.


Bangun pagi langsung di sambut indahnya pemandangan dari puncak bayangan satu ini. Dari sini terlihat tiga puncak gunung yang seakan-akan saling bersebelahan. Ada puncak gunung Sindoro, gunung Merbabu dan gunung Merapi. Subhanallah, ketiga puncak gunung itu tertutup kabut. Dari posisi ini, kita berada lebih tinggi dari awan. Awan yang serupa kapas, seakan-akan bisa langsung kita genggam dari sini. Di tambah matahari yang terbit dengan malu-malu, menambah kelengkapan keindahan alam ciptaan Tuhan ini.



Dan sebagai kaum yang tidak lupa untuk mengabadikan semua moment, kita berfoto-foto di sini. Dan saya masih kagum ketika melihat jauh ke bawah. Eh beneran saya sudah naik setinggi ini? Dan jalan air yang semalam saya tanyakan bolak-balik ke mas Nanang, kelihatan jelas dari sini. Jalan air adalah jalan setapak jalur pendakian, yang karena saking membelok-beloknya, hingga kelihatan seperti arus air atau daerah aliran air.



Sembari menunggu turunnya teman-teman yang summit attack, kita di sini masing-masing satu anak mendapat satu krekses besar guna memunguti sampah sekitaran tenda sampai bersih kemudian membakarnya. “Mendaki tak hanya untuk menikmati indahnya ciptaan-Nya, tak hanya untuk mengalahkan semua ego, tapi gimana caranya agar mendaki itu juga untuk memelihara, merawat dan mencintai bumi.“

Dan ketika bebersih ini, kita baru sadar kalau kita kehabisan persediaan air. Dan untunglah teman-teman yang melaksanakan sumiit attack sudah membawa beberapa botol kosong buat di isi air di atas. Teman-teman yang melakukan summit attack ada mas Nanang, mas Jenggot, Udakuda serta teman-teman dari Bandung. Sedang yang lain, cukup hingga puncak bayangan pertama sama seperti saya.

Jam menunjukkan sekitar jam delapan pagi. Setelah sarapan mie dan secangkir kopi, kita mulai bersiap turun, perjalanan turun tidaklah mudah. Mungkin ada yang berpikir, tinggal turun saja, tidak terlalu butuh tenaga. Akan tetapi di sini, dengan kondisi badan yang masih capek, apalagi daerah lutut dan pergelangan kaki. Perjalanan turun merupakan tantangan sendiri. Waktu itu saya sempat mengalami kram. Dan berhenti beberapa saat sampai kram saya sembuh.

Ketika turun yang kita butuhkan bukanlah kecepatan dalam berjalan, akan tetapi kekuatan lutut dan pergelangan kaki. Karena di sinilah –istilahnya- rem kaki harus benar-benar kuat. Karena begitu ga kuat sedikit, kita bisa keselip, kalau sudah keselip teman di bawah tinggal nunggu kita, dalam keadaan sehat apa badan carut-marut kegores bebatuan dan perdu.

Waktu itu saya lebih sering glesotan, karena rem kaki saya terutama daerah engsel, sepertinya remanya sudah aus jadi tidak makan. Dari pada saya harus jatuh bergulingan saya lebih memilih glesotan di jalan menurun, dan ini terjadi lebih dari tiga kali. Bahkan ketika sampai pos satu, saya kepikiran buat naik ojek saja. Cumin kok jadinya antiklimaks ya? Kalau kemudian saya turun dengan naik ojek.

Dengan ditemani mbak Nina, mas Nafis, Dhanny dan Pephi saya menapaki langkah demi langkah menuju base camp. Hujan turun dengan derasnya, dan saya menggigil kedinginan menambah semakin melambatnya langkah saya.  Dengan sabar teman-teman saya ini menemani, bahkan Dhanny sempat menawarkan diri untuk membawa cariier saya, namun saya tolak, ah saya harus mengalahkan semua ego saya ini. Saya harus sampai base camp dengan diri saya dan tenaga sendiri.

Untungnya mas Nafis ngajak saya ngobrol, sehingga perjalanan ini tak begitu terasa lambat dan lama. Saya sempat bertanya “kenapa sampean menikmati sekali hujan-hujanan ini? Berlari-lari kecil, loncat-loncatan dengan riang?”Dan tahu dia bilang apa “saya hanya menikmati seperti ketika saya masih kecil mbak, main-main bermandikan hujan. Karena dengan ini saya jadi tak merasa capek dan menikmati”

Ah, saya jadi malu dibuatnya. Dari tadi saya menganggap hujan yang turun membuat beban di punggung saya bertambah, membuat langkah saya menjadi tambah lambat, membuat saya jadi menggigil. Ah, kenapa saat ini juga saya tak mengubah mind set saya itu? Okee..dengan sisa tenaga yang ada, saya mencoba mengubah pikiran saya itu menjadi seperti apa yang mas Nafis pikirkan. Dan lumayan, saya menikmati sesuatu di sana, teringat ketika saya kecil, bermain air sambil hujan-hujanan di sawah. Dan.. yah! Tentu saja dengan semangat dan tenaga yang masih tersisa.

 

Me n My Ego Template by Ipietoon Cute Blog Design