Monday, December 7, 2009

CINTA ( dalam kacamata Annis Matta )

Lelaki perlente itu tidak hanya dikenal sangat tampan yang ketampanannya bahkan mengalahkan kecantikan wanita paling cantik. Ia juga lelaki paling berkuasa dan paling disegani di muka bumi ketika itu. Lelaki itu adalah khalifah pertama sekaligus pendiri khilafah Bani Ummayyah. Di ibu kota khilafahnya, Damascus, ia membangun sebuah istana yang megah. Ia punya selera. Semua yang ia miliki adalah mimpi-mimpi wanita. Namun lantas itu menjadi ironi: kali ini cinta tersedak. Ia tergila-gila pada seorang gadis badui yang cantik dan innocent. Ia menikahinya. Lalu memboyongnya tinggal di istananya. Tapi ia gagal menerbitkan bahkan sebersitpun cinta dalam hati sang istri. Ketampanan, kemewahan dan kekuasaan Muawiyah tidak cukup memadai membangkitkan cinta dalam jiwanya. Ia bahkan tidak mengerti bagaimana menikmati kemewahan dalam istana sang suami. Setiap kali langkah kakinya menderap di sudut-sudut istana ingatannya malah kembali ke dusunnya. Sebab disana ada pemuda badui yang terus merindukannya.



Pada suatu malam yang sunyi, ketika purnama menghias langit malam, kesabarannya berakhir. Rindunya meledak dalam bait-bait syair yang ia senandungkan. Sayup-sayup Muawiyah mendengarnya. Ia terhenyak. Ia tahu bait-bait itu adalah sebuah deklarasi: aku tidak mencintaimu, aku tidak bisa mencintaimu, aku ingin pulang, aku ingin menikah dengan kekasihku! Muawiyah tersadar. Kekuasaan memungkinkan ia menikahi gadis badui itu dengan mudah. Tetapi kekuasaan tidak dapat membantunya merebut cintanya. Gadis innocent itu adalah seorang perempuan merdeka. Ia memilih untuk meninggalkan istana Muawiyah yang megah hanya untuk hidup bersama seorang pemuda dusun yang teramat sederhana. Dengan berat akhirnya Muawiyah menceraikan sang istri, seorang gadis lugu yang telah membuatnya tergila-gila.



Cinta secara umum adalah emosi kebaikan yang meledakkan semangat memberi dalam jiwa kita. Itu sebabnya kita selalu menjadi lebih baik ketika kita sedang jatuh cinta. Tapi ketika cinta dihadapkan pada obyeknya, khususnya cinta antara laki-laki dan wanita, emosi kebajikan itu tetaplah emosi kebajikan, tapi dengan chamistry yang sangat unik. Dua emosi kebajikan belum tentu bisa bertaut secara kimiawi dengan mudah. Jauh sebelum cinta menjelma menjadi pertemuan dua fisik, ia terlebih dahulu bertaut di alam jiwa. Jika ada pertemuan fisik yang tidak didahului oleh pertemuan jiwa itu bukanlah cinta. Maka sepasang laki-laki dan wanita bisa melakukan hubungan seks tanpa cinta. Atau, sebuah pernikahan bisa berlangsung tanpa cinta. Sebagai manusia jika kita memiliki tabiat kimiawi yang unik. Dan tidak bisa ditebak. Seorang perempuan lembut bisa jadi mencintai seorang laki-laki kasar, karena kelembutan dan kekasaran adalah dua kutub jiwa yang bisa bertemu seperti air dan api: saling tergantung dan saling menggenapkan.



Tapi keunikan jiwa itu sama sekali tidak mengurangi kadar kebenaran dari fakta bahwa “ cinta sebagai emosi kebajikan tetaplah harus mengejahwantah pada semangat memberi, dan bahwa nilai kita dimata orang yang kita cintai tetaplah terletak pada kadar manfaat yang kita berikan kepadanya. Dan jika pada suatu hubungan cinta kita tidak memberi sesuatu pada orang yang kita cintai, sementara hubungan cinta itu tetap berlanjut, bahkan lenggeng, percayalah, itu semata-mata karena kesabaran sang kekasih menyaksikan pecintanya mengkonsumsi kebajikannya setiap saat, atas nama cinta. Yang satu memberi atas nama cinta, yang lainnya menerima atas nama cinta. Ironis memang. Tapi faktanya ada. Bahkan mungkin banyak beredar diantara kita.

***Annis matta-Cinta dan Kimia Jiwa

0 comments:

Post a Comment

Komen pakai Hati ya...:)

 

Me n My Ego Template by Ipietoon Cute Blog Design